Karawitan jawa, setiap masyarakat indonesia pasti tidak asing dengan kalimat tersebut. Eksistensi atau keberadaan karawitan ditengah masyarakat tidak pernah lepas dari budaya masyarakat itu sendiri. Resistensi atau ketahanan karawitan dalam menghadapi perubahan zaman berlangsung sepanjang zaman. (Purwadi,2006:1-3)
Bagian kebudayaan dipertahankan dan dihargai sebagai suatu
keberagaman seperti pepatah jawa “desa mawa cara, negara mawa tata” yang
artinya kurang lebih negara atau desa mempunyai cara tersendiri untuk menghhargai
budayanya masing-masing. Nilai yang terkandung dalam karawitan adalah nilai
luhur yang sesuai dengan tata cara kehidupan dan bisa jadi sebagai simbol
keberadaan masyarakat jawa.
Lalu bagaimana karawitan diera globalisasi ini?
Globalisasi adalah suatu proses antar individu atau
kelompok dan negara untuk saling berinteraksi, bergantung, terkait dan
memengaruhi satu sama lain melintasi batas negara. Sebenarnya ada dampak
negatif dan positif, dampak positifnya informasi dan ilmu pengetahuan lebih
cepat diperoleh, komunikasi mudah silakukan, mobilitasnnya tinggi. Tapi
globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek budaya. Hal ini membawa perubahan
contohnya etika dalam pembawaan diri, berpakaian dan berbicara sedikit memudar.
Memudarnya ini salah satu unsur penyebab melemahnya identitas bangsa. Karawitan
sebagai budaya dan identitas bangsa Indonesia bukan hanya sebagai budaya lokal
melainkan menjadi budaya nasional dan global, wujud mempertahankan budaya bisa
kita liat para seniman banyak membuat sanggar seni di dalam negeri maupun
diluar negeri sana.
Sedikit dan perlahan karawitan mulai terpinggir oleh seni
budaya luar yang masuk sengan berbagai macam cara. Karawitan seolah-olah
tenggelam ditengah-tengah kehadiran berbagai jenis musik, banyak yang
beranggapan karawitan itu kuno, tidak praktis dan ahal jika disajikan dalam
pagelaran. Tapi pelestarian karawitan jawa bukan hanya jadi tanggungjawab para
seniman melainkan semua masyarakat khususnya geenrasi penerus bangsa. Agar karawitan
tidak tergeser dan menajdi identitas bangsa lain. Karawitan klasikpun masih
diperdengarkan yaitu Uyon-uyon Hadiluhung Kraton ngayogyakarta Hadiningrat yang
diadakan sejak zaman Sultan Hamangku Buwono VII, musik ini memang tidak banyak
penggemarnya karena musik ini mengacu pada penyajian masa lalu yang tidak boleh
dirubah (pakem). Hal ini dipertahankan Keraton yogyakarta untuk ‘tingalan dalem’
(hari kelahiran sultan). Setelah Sri SultanHamengku Buwana ke X bertahta, acara
ini diadakan setiap hari Senin pon malam Selasa Wage dissesuaikan dengan hari
dan pasaran kelahiran sultan.
Nilai kebersamaan dan kekeluargaan terkandung dalam
karawitan, karena karawitan tidak bisa dimainkan oleh satu orang, hal ini
mengasah pemain musik untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, menghargai, saling
toleransi, bergotong royong, disiplin dan rasa kepekaan. Selain itu karawitan
mengajarkan tentang kehidupan manusia. Terlihat dari tembang-tembang yang
sering diperdengarkan, tembang yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir
hingga mati.
Lebih sedihnya lagi angklung adalah pelajaran wajib bagi
pelajar singapura, lalu indonesia ? bukan berarti kita harus mendengarkan
karawitan klasik, karawitan yang telah dicampur dengan alat musik modern juga
bagus, karena ini masalah estetika dan selera. Kalau aku lebih suka dengerin
Bossanova jawa .
1 komentar:
kegelisahannya udah terasa, dikit. :) siiip.
Posting Komentar