Proses transisi kekuasaan dari
Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru memberi pengaruh yang signifikan terhadap
orientasi pembangunan ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi yang salah satunya
diindikasikan dengan timbulnya hiperinflasi hingga 635% mendorong pemerintah
baru untuk segera menciptakan stabilisasi ekonomi. Salah satu kebijakan yang
mencolok adalah masuknya bantuan atau hutang yang berasal dari negara-negara
kapitalis. Ironisnya, kekuasaan Orde Baru juga diakhiri dengan krisis ekonomi
sehingga terpaksa tunduk pada IMF demi kelangsungan masuknya modal asing.
Pemerintah Orde Baru yang mengimplementasikan pembangunan kapitalistik dengan
mengacu pada teori modernisasi terbukti mengalami kegagalan.
Kekuatan IMF sebenarnya bukan hanya
terletak pada aspek financial, melainkan lebih pada kepercayaan terhadap
negara-negara kreditur. Sebelum pihak IMF memberikan persetujuan, Negara yang
membutuhkan harus menandatangani Letter of Intent, yaitu suatu program
kebijakan yang harus diambil umtuk menstabilkan ekonomi. Dalam konteks inilah
IMF biasanya berhasil memaksakan kepentingannya pada Negara kreditur, yang
umumnya meliputi liberalisasi perdagangan, devaluasi nilai tukar, pengendalian
kredit bank, pengurangan/penghapusan subsidi, serta kebijakan yang lebih
menguntungkan investasi asing. Khusus terkait dengan kebijakan ekonomi di
Indonesia kebijakan yang berhasil dipaksakan oleh IMF adalah pembaruan fiscal
untuk menciptakan APBN yang seimbang, liberalisasi perdagangan luar negeri,
serta pengurangn peran Negara dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. (Hariyono, 2006)
Dengan dicapainya kesepakatan
antara pihak Negara kreditur yang difasilitasi IMF dengan pemerintah Indonesia
di awal Orde Baru, Indonesia terbuka bagi investasi asing. Kuatnya pengaruh
modal asing semakin mempersulit pengusaha pribumi yang tergolong menengah ke
bawah. Walaupun sudah diterbitkan UU tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun
1967, peraturannya cukup ketat dalam penyertaan modal sehingga banyak pengusaha
pribumi yang tersisih.
Hingga kini, masuknya perusahaan
asing dalam kegiatan investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk
mengisi sektor-sektor usaha dan industri yang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya
oleh pihak swasta nasional, baik karena alasan teknologi, manajemen, maupun
alasan permodalan. Modal asing diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran internasional melalui jaringan
yang mereka miliki. Selanjutnya masuknya
modal asing diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempercepat
proses pembangunan ekonomi Indonesia. Keuntungan Indonesia dengan adanya kegiatan investasi adalah negara tidak melakukan sendiri
eksplotasi sumber daya
alam yang berguna untuk
konsumsi rakyatnya. Hal ini jelas mengurangi biaya pemerintah apabila
pemerintah melakukan sendiri hal tersebut, bahkan dapat mengatasi masalah
pengangguran dengan dibukanya lapangan kerja baru sehingga pendapatan di dalam
negeri meningkat maka terciptalah pertumbuhan ekonomi.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang
seharusnya tidak boleh hanya mementingkan pertambahan angka yang tinggi saja.
Kepada siapa pertumbuhan itu dapat dinikmati secara adil, itulah yang menjadi
tujuan terpenting dari pembangunan ekonomi. Maraknya investasi asing justru
mendominasi perekonomian Indonesia terutama dalam bidang energi dan sumber daya
mineral. Para investor dalam negeri seakan semakin kalah bersaing dengan para
investor asing karena tidak memiliki kakuatan yang besar di sektor finansial.
Begitu juga dalam hal pengelolaan dan teknologi, dengan jelas investor dalam
negeri belum mempunyai kemampuan yang menjanjikan dibanding investor asing yang
kuat. Meredupnya kegiatan para investor dalam negeri semakin diperparah dengan
tidak kuatnya proteksi dari pemerintah terhadap dominasi investasi asing. Dalam
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah cenderung
mengedepankan persaingan secara bebas antara investor dalam negeri dan investor
asing karena dalam undang-undang ini tidak ada pemisahan secara eksplisit
antara investor dalam negeri dan investor asing.
Kemudahan yang diterima para
investor asing semakin bertambah ketika pemerintah menawarkan kesepakatan yang
sangat menguntungkan mereka. Salah satu contoh kesepakatan tersebut adalah
penjualan kepemilikan Pertamina di Blok Cepu seharga USD 400 juta kepada PT.
ExxonMobil. Sebuah nilai yang sangat kecil menurut pengamat perminyakan karena
potensi migas di Blok Cepu sangat besar, bahkan yang terbesar di Indonesia.
Pemerintah juga melakukan rekayasa hukum dengan menerbitkan peraturan-peraturan
yang memberi kemudahan fasilitas bagi ExxonMobil untuk menguasai Blok Cepu.
Contohnya adalah penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini memberi pengecualian
terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang terdapat dalam PP
No.35/2004. Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil dalam
memperoleh kontrak selama 30 tahun. Ternyata, dominasi asing dalam usahanya
mengeruk dan menguras habis sumber daya alam kita bukan disebabkan kinerja
mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan
oleh pemerintah kepada mereka (Sumber: www.igj.or.id).
Di sisi lain masuknya arus modal
asing tersebut merupakan sinyal meningkatnya hot money (uang jangka pendek) yang jumlahnya sangat besar namun
bersifat sementara. Padahal yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah aliran modal
yang menetap dan bersifat padat karya, misalnya modal untuk mendirikan sebuah
pabrik tekstil yang akhirnya menyerap tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pertumbuhan ekonomi yang berputar di lingkaran bursa saham maupun
sektor finansial lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tidak melibatkan industri
padat karya, seperti UMKM bukanlah pertumbuhan ekonomi yang patut dibanggakan.
Penanaman modal asing di Indonesia
tidak serta merta membawa Indonesia pada sebuah kemajuan ekonomi. Pemerintah
harus mengkaji kembali bagaimana penarikan modal asing yang mengarah pada
kapitalisme dapat diterapkan di Negara kita yang berlandaskan Pancasila. Di
sinilah peran sila-sila Pancasila dibutuhkan untuk memberantas kolonialisme
kapitalis dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk bidang perekonomian.
Penilaian terhadap hak-hak asasi masyarakat Indonesia menjadi koreksi utama
bagi sila-sila Pancasila terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
perekonomian Indonesia saat ini.*
* Daftar pustaka :
Hariyono.
2006. Makalah “Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-lebar
Bagi Modal Asing”
PUSTEP
UGM. 2004. Artikel “Ekonomi Pancasila vs Ekonomi Kapitalis”
Aldiano,
Arjuna Putra. 2012. Artikel “Dominasi dan Cengkeraman Modal Asing Sebagai
Kolonialisme Baru di Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar