Rabu, Agustus 21, 2013

Karawitan sebagai identitas bangsa


Karawitan jawa, setiap masyarakat indonesia pasti tidak asing dengan kalimat tersebut. Eksistensi atau keberadaan karawitan ditengah masyarakat tidak pernah lepas dari budaya masyarakat itu sendiri. Resistensi atau ketahanan karawitan dalam menghadapi perubahan zaman berlangsung sepanjang zaman. (Purwadi,2006:1-3)
Bagian kebudayaan dipertahankan dan dihargai sebagai suatu keberagaman seperti pepatah jawa “desa mawa cara, negara mawa tata” yang artinya kurang lebih negara atau desa mempunyai cara tersendiri untuk menghhargai budayanya masing-masing. Nilai yang terkandung dalam karawitan adalah nilai luhur yang sesuai dengan tata cara kehidupan dan bisa jadi sebagai simbol keberadaan masyarakat jawa.
Lalu bagaimana karawitan diera globalisasi ini?
Globalisasi adalah suatu proses antar individu atau kelompok dan negara untuk saling berinteraksi, bergantung, terkait dan memengaruhi satu sama lain melintasi batas negara. Sebenarnya ada dampak negatif dan positif, dampak positifnya informasi dan ilmu pengetahuan lebih cepat diperoleh, komunikasi mudah silakukan, mobilitasnnya tinggi. Tapi globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek budaya. Hal ini membawa perubahan contohnya etika dalam pembawaan diri, berpakaian dan berbicara sedikit memudar. Memudarnya ini salah satu unsur penyebab melemahnya identitas bangsa. Karawitan sebagai budaya dan identitas bangsa Indonesia bukan hanya sebagai budaya lokal melainkan menjadi budaya nasional dan global, wujud mempertahankan budaya bisa kita liat para seniman banyak membuat sanggar seni di dalam negeri maupun diluar negeri sana.
Sedikit dan perlahan karawitan mulai terpinggir oleh seni budaya luar yang masuk sengan berbagai macam cara. Karawitan seolah-olah tenggelam ditengah-tengah kehadiran berbagai jenis musik, banyak yang beranggapan karawitan itu kuno, tidak praktis dan ahal jika disajikan dalam pagelaran. Tapi pelestarian karawitan jawa bukan hanya jadi tanggungjawab para seniman melainkan semua masyarakat khususnya geenrasi penerus bangsa. Agar karawitan tidak tergeser dan menajdi identitas bangsa lain. Karawitan klasikpun masih diperdengarkan yaitu Uyon-uyon Hadiluhung Kraton ngayogyakarta Hadiningrat yang diadakan sejak zaman Sultan Hamangku Buwono VII, musik ini memang tidak banyak penggemarnya karena musik ini mengacu pada penyajian masa lalu yang tidak boleh dirubah (pakem). Hal ini dipertahankan Keraton yogyakarta untuk ‘tingalan dalem’ (hari kelahiran sultan). Setelah Sri SultanHamengku Buwana ke X bertahta, acara ini diadakan setiap hari Senin pon malam Selasa Wage dissesuaikan dengan hari dan pasaran kelahiran sultan.
Nilai kebersamaan dan kekeluargaan terkandung dalam karawitan, karena karawitan tidak bisa dimainkan oleh satu orang, hal ini mengasah pemain musik untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, menghargai, saling toleransi, bergotong royong, disiplin dan rasa kepekaan. Selain itu karawitan mengajarkan tentang kehidupan manusia. Terlihat dari tembang-tembang yang sering diperdengarkan, tembang yang menggambarkan kehidupan manusia dari lahir hingga mati.
Lebih sedihnya lagi angklung adalah pelajaran wajib bagi pelajar singapura, lalu indonesia ? bukan berarti kita harus mendengarkan karawitan klasik, karawitan yang telah dicampur dengan alat musik modern juga bagus, karena ini masalah estetika dan selera. Kalau aku lebih suka dengerin Bossanova jawa .  

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kegelisahannya udah terasa, dikit. :) siiip.